PENGANTAR KOMPUTASI MODERN
MUHAMMAD IQBAL
54412981
4IA09
Bagaimana Cara Mengendalikan Diri Ketika Sedang Emosi?
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Salah satu senjata setan untuk membinasakan
manusia adalah marah. Dengan cara ini, setan bisa dengan sangat mudah
mengendalikan manusia. Karena marah, orang bisa dengan mudah mengucapkan
kalimat kekafiran, menggugat takdir, ngomong jorok, mencaci habis, bahkan
sampai kalimat carai yang membubarkan rumah tangganya.
Karena marah pula, manusia bisa merusak semua
yang ada di sekitarnya. Dia bisa banting piring, lempar gelas, pukul
kanan-pukul kiri, bahkan sampai tindak pembunuhan. Di saat itulah, misi setan
untuk merusak menusia tercapai.
Tentu saja, permsalahannya tidak selesai
sampai di sini. Masih ada yang namanya balas dendam dari pihak yang dimarahi.
Anda bisa bayangkan, betapa banyak kerusakan yang ditimbulkan karena marah.
Menyadari hal ini, islam sangat menekankan
kepada umat manusia untuk berhati-hati ketika emosi. Banyak motivasi yang
diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar
manusia tidak mudah terpancing emosi. Diantaranya, beliau
menjanjikan sabdanya yang sangat ringkas,
لا
تغضب ولك الجنة
“Jangan marah, bagimu surga.” (HR.
Thabrani dan dinyatakan shahih dalam kitab shahih At-Targhib no. 2749)
Allahu akbar, jaminan
yang luar biasa. Surga..dihiasi dengan berbagai kenikmatan, bagi mereka yang
mampu menahan amarah. Semoga ini bisa memotivasi kita untuk tidak mudah
terpancing emosi.
Bagaimana Cara Mengendalikan Diri Ketika Sedang Emosi?
Agar
kita tidak terjerumus ke dalam dosa yang lebih besar, ada beberapa cara
mengendalikan emosi yang diajarkan dalam Al-Quran dan Sunah. Semoga bisa
menjadi obat mujarab bagi kita ketika sedang marah.
Pertama, segera memohon
perlindungan kepada Allah dari godaan setan, dengan membaca ta’awudz:
أعوذُ
بالله مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجيمِ
A-‘UDZU BILLAHI MINAS SYAITHANIR RAJIIM
Karena
sumber marah adalah setan, sehingga godaannya bisa diredam dengan memohon
perlindungan kepada Allah.
Dari
sahabat Sulaiman bin Surd radhiyallahu
‘anhu, beliau menceritakan,
Suatu
hari saya duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika itu ada dua orang yang saling memaki. Salah satunya telah merah wajahnya
dan urat lehernya memuncak. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِني
لأعلمُ كَلِمَةً لَوْ قالَهَا لذهبَ عنهُ ما يجدُ، لَوْ قالَ: أعوذُ بالله مِنَ
الشَّيْطانِ الرَّجيمِ، ذهب عَنْهُ ما يَجدُ
Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat,
jika dibaca oleh orang ini, marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta’awudz:
A’-uudzu billahi minas syaithanir rajiim, marahnya akan hilang. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam
riwayat lain, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang marah, kemudian
membaca: A-‘udzu billah (saya berlindung kepada Allah) maka marahnya akan reda.” (Hadis shahih – silsilah As-Shahihah,
no. 1376)
Kedua, DIAM dan jaga lisan
Bawaan
orang marah adalah berbicara tanpa aturan. Sehingga bisa jadi dia bicara
sesuatu yang mengundang murka Allah. Karena itulah, diam merupakan cara mujarab
untuk menghindari timbulnya dosa yang lebih besar.
Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“Jika kalian marah, diamlah.” (HR. Ahmad dan Syuaib
Al-Arnauth menilai Hasan lighairih).
Ucapan
kekafiran, celaan berlebihan, mengumpat takdir, dst., bisa saja dicatat oleh
Allah sebagai tabungan dosa bagi ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
إِنَّ
العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي
النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ المَشْرِقِ
Sesungguhnya ada hamba yang mengucapkan satu
kalimat, yang dia tidak terlalu memikirkan dampaknya, namun menggelincirkannya
ke neraka yang dalamnya sejauh timur dan barat. (HR. Bukhari dan Muslim)
Di
saat kesadaran kita berkurang, di saat nurani kita tertutup nafsu, jaga lisan
baik-baik, jangan sampai lidah tak bertulang ini, menjerumuskan anda ke dasar
neraka.
Ketiga, mengambil posisi lebih
rendah
Kecenderungan
orang marah adalah ingin selalu lebih tinggi.. dan lebih tinggi. Semakin
dituruti, dia semakin ingin lebih tinggi. Dengan posisi lebih tinggi, dia bisa
melampiaskan amarahnya sepuasnya.
Karena
itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan saran sebaliknya.
Agar marah ini diredam dengan mengambil posisi yang lebih rendah dan lebih
rendah. Dari Abu Dzar radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menasehatkan,
إِذَا
غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ
وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
Apabila kalian marah, dan dia dalam posisi
berdiri, hendaknya dia duduk. Karena dengan itu marahnya bisa hilang. Jika
belum juga hilang, hendak dia mengambil posisi tidur. (HR. Ahmad 21348, Abu
Daud 4782 dan perawinya dinilai shahih oleh Syuaib Al-Arnauth).
Abu Dzar
radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang meriwayatkan hadis ini, melindungi dirinya
ketika marah dengan mengubah posisi lebih rendah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dalam Musnadnya, dari Abul Aswad Ad-Duali, beliau menceritakan kejadian yang
dialami Abu Dzar,
“Suatu
hari Abu Dzar mengisi ember beliau. Tiba-tiba datang beberapa orang yang ingin
mengerjai Abu Dzar. ‘Siapa diantara kalian yang berani mendatangi Abu Dzar dan
mengambil beberapa helai rambutnya?’ tanya salah seorang diantara mereka.
“Saya.” Jawab kawannya.
Majulah
orang ini, mendekati Abu Dzar yang ketika itu berada di dekat embernya, dan
menjitak kepala Abu Dzar untuk mendapatkan rambutnya. Ketika itu Abu Dzar
sedang berdiri. Beliaupun langsung duduk kemudian tidur.
Melihat
itu, orang banyak keheranan. ‘Wahai Abu Dzar, mengapa kamu duduk, kemudian
tidur?’ tanya mereka keheranan.
Abu
Dzar kemudian menyampaikan hadis di atas. Subhanallah.., demikianlah semangat
sahabat dalam mempraktekkan ajaran nabi mereka.
Mengapa
duduk dan tidur?
Al-Khithabi
menjelaskan,
القائم
متهيئ للحركة والبطش، والقاعد دونه في هذا المعنى، والمضطجع ممنوع منهما، فيشبه أن
يكون النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنما أمره بالقعود لئلا تبدر منه في
حال قيامه وقعوده بادرة يندم عليها فيما بعدُ
Orang
yang berdiri, mudah untuk bergerak dan memukul, orang yang duduk, lebih sulit
untuk bergerak dan memukul, sementara orang yang tidur, tidak mungkin akan
memukul. Seperti ini apa yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perintah beliau untuk duduk, agar orang yang sedang dalam posisi berdiri atau
duduk tidak segera melakukan tindakan pelampiasan marahnya, yang bisa jadi
menyebabkan dia menyesali perbuatannya setelah itu. (Ma’alim As-Sunan, 4/108)
Keempat, Ingatlah hadis ini ketika
marah
Dari
Muadz bin Anas Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
مَنْ
كَظَمَ غَيْظاً وَهُوَ قادرٌ على أنْ يُنفذهُ دعاهُ اللَّهُ سبحانهُ وتعالى على
رءوس الخَلائِقِ يَوْمَ القيامةِ حتَّى يُخيرهُ مِنَ الحورِ العين ما شاءَ
“Siapa yang berusaha menahan amarahnya,
padahal dia mampu meluapkannya, maka dia akan Allah panggil di hadapan seluruh
makhluk pada hari kiamat, sampai Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang
dia kehendaki. (HR.
Abu Daud, Turmudzi, dan dihasankan Al-Albani)
Subhanallah..,
siapa yang tidak bangga ketika dia dipanggil oleh Allah di hadapan semua
makhluk pada hari kiamat, untuk menerima balasan yang besar? Semua manusia dan
jin menyaksikan orang ini, maju di hadapan mereka untuk menerima pahala yang
besar dari Allah ta’ala. Tahukah anda, pahala ini Allah berikan kepada orang
yang hanya sebatas menahan emosi dan tidak melampiaskan marahnya. Bisa kita
bayangkan, betapa besar pahalanya, ketika yang dia lakukan tidak hanya menahan
emosi, tapi juga memaafkan kesalahan orang tersebut dan bahwa membalasnya
dengan kebaikan.
Mula
Ali Qori mengatakan,
وَهَذَا
الثَّنَاءُ الْجَمِيلُ وَالْجَزَاءُ الْجَزِيلُ إِذَا تَرَتَّبَ عَلَى مُجَرَّدِ
كَظْمِ الْغَيْظِ فَكَيْفَ إِذَا انْضَمَّ الْعَفْوُ إِلَيْهِ أَوْ زَادَ
بِالْإِحْسَانِ عَلَيْهِ
Pujian
yang indah dan balasan yang besar ini diberikan karena sebatas menahan emosi.
Bagaimana lagi jika ditambahkan dengan sikap memaafkan atau bahkan membalasnya
dengan kebaikan. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Turmudzi, 6/140).
Satu
lagi, yang bisa anda ingat ketika marah, agar bisa meredakan emosi anda:
Hadis
dari Ibnu Umar,
من كف
غضبه ستر الله عورته ومن كظم غيظه ولو شاء أن يمضيه أمضاه ملأ الله قلبه يوم
القيامة رضا
Siapa
yang menahan emosinya maka Allah akan tutupi kekurangannya. Siapa yang menahan
marah, padahal jika dia mau, dia mampu melampiaskannya, maka Allah akan penuhi
hatinya dengan keridhaan pada hari kiamat. (Diriwayatkan Ibnu Abi Dunya dalam
Qadha Al-Hawaij, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Ya,
tapi yang sulit bukan hanya itu. Ada satu keadaan yang jauh lebih sulit untuk
disuasanakan sebelum itu, yaitu mengkondisikan diri kita ketika marah untuk
mengingat balasan besar dalam hadis di atas. Umumnya orang yang emosi lupa
segalanya. Sehingga kecil peluang untuk bisa mengingat balasan yang Allah
berikan bagi orang yang bisa menahan emosi.
Siapakah
kita dibandingkan Umar bin Khatab radhiyallahu
‘anhu. Sekalipun demikian, beliau terkadang lupa dengan ayat dan
anjuran syariat, ketika sudah terbawa emosi.
Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
beliau menceritakan bahwa ada seseorang yang minta izin kepada Khalifah Umar
untuk bicara. Umarpun mengizinkannya. Ternyata orang ini membabi buta dan
mengkritik habis sang Khalifah.
‘Wahai
Ibnul Khattab, demi Allah, kamu tidak memberikan pemberian yang banyak kepada
kami, dan tidak bersikap adil kepada kami.”
Mendengar
ini, Umarpun marah, dan hendak memukul orang ini. Sampai akhirnya Al-Hur bin
Qais (salah satu teman Umar) mengingatkan,
‘Wahai
Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah berfirman kepada nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): ‘Berikanlah maaf,
perintahkan yang baik, dan jangan hiraukan orang bodoh.’ dan orang ini termasuk
orang bodoh.’
Demi
Allah, Umar tidak jadi melampiaskan emosinya ketika mendengar ayat ini
dibacakan. Dan dia adalah manusia yang paling tunduk terhadap kitab Allah. (HR.
Bukhari 4642).
Yang
penting, anda jangan berputus asa, karena semua bisa dilatih. Belajarlah untuk
mengingat peringatan Allah, dan ikuti serta laksanakan. Bisa juga anda minta
bantuan orang di sekitar anda, suami, istri, anak anda, pegawai, dan orang di
sekitar anda, agar mereka segera mengingatkan anda dengan janji-janji di atas,
ketika anda sedang marah.
Pada
kasus sebaliknya, ada orang yang marah di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliaupun meminta salah satu sahabat untuk mengingatkannya, agar membaca
ta’awudz, A-‘udzu billahi minas syaithanir rajim..
وَقَالَ:
له أحد الصحابة «تَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ» فَقَالَ: أَتُرَى بِي
بَأْسٌ، أَمَجْنُونٌ أَنَا، اذْهَب
“Salah
satu temannya mengingatkan orang yang sedang marah ini: ‘Mintalah perlindungan
kepada Allah dari godaan setan!’ Dia malah berkomentar: ‘Apakah kalian sangka
saya sedang sakit? Apa saya sudah gila? Pergi sana!’ (HR. Bukhari 6048).
Kelima, Segera berwudhu atau mandi
Marah
dari setan dan setan terbuat dari api. Padamkan dengan air yang dingin.
Terdapat
hadis dari Urwah As-Sa’di radhiyallahu ‘anhu, yang
mengatakan,
إِنَّ
الْغَضَبَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنْ النَّارِ
وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ
فَلْيَتَوَضَّأْ
Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan
diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah,
hendaknya dia berwudhu. (HR.
Ahmad 17985 dan Abu Daud 4784)
Dalam
riwayat lain, dari Abu Muslim Al-Khoulani, beliau menceritakan,
Bahwa
Amirul Mukminin Mu’awiyah radhiyallahu
‘anhu pernah
berkhutbah di hadapan masyarakat. Dan ketika itu, gaji pegawai belum diserahkan
selama dua atau tiga bulan. Abu Muslim-pun berkata kepada beliau,
‘Hai
Muawiyah, sesungguhnya harta itu bukan milikmu, bukan milik bapakmu, bukan pula
milik ibumu.’
Mendengar
ini, Muawiyah meminta hadirin untuk diam di tempat. Beliau turun dari mimbar,
pulang dan mandi, kemudian kembali dan melanjutkan khutbahnya,
‘Wahai
manusia, sesungguhnya Abu Muslim menyebutkan bahwa harta ini bukanlah milikku,
bukan milik bapakku, bukan pula milik ibuku. Dan Abu Muslim benar. kemudian
beliau menyebutkan hadis,
الغضب
من الشيطان ، والشيطان من النار ، والماء يطفئ النار ، فإذا غضب أحدكم فليغتسل
Marah itu dari setan, setan dari api, dan air
bisa memadamkan api. Apabila kalian marah, mandilah.
Lalu
Muawiyah memerintahkan untuk menyerahkan gaji mereka.
(HR.
Abu Nuaim dalam Hilyah 2/130, dan Ibnu Asakir 16/365).
Dua
hadis ini dinilai lemah oleh para ulama. Hadis pertama dinilai lemah oleh
An-Nawawi sebagaimana keterangan beliau dalam Al-Khulashah (1/122). Syuaib
Al-Arnauth dalam ta’liq Musnad Ahmad menyebutkan sanadnya lemah. Demikian pula
Al-Albani menilai sanadnya lemah dalam Silsilah Ad-Dhaifah no. 581.
Hadis
kedua juga statusnya tidak jauh beda. Ulama pakar hadis menilainya lemah.
Karena ada perowi yang bernama Abdul Majid bin Abdul Aziz, yang disebut Ibnu
Hibban sebagai perawi Matruk (ditinggalkan).
Ada
juga ulama yang belum memastikan kelemahan hadis ini. Diantaranya adalah Ibnul
Mundzir. Beliau mengatakan,
إن ثبت
هذا الحديث فإنما الأمر به ندبا ليسكن الغضب ، ولا أعلم أحدا من أهل العلم يوجب
الوضوء منه
Jika
hadis ini shahih, perintah yang ada di dalamnya adalah perintah anjuran untuk
meredam marah dan saya tidak mengetahui ada ulamayang mewajibkan wudhu ketika
marah. (Al-Ausath, 1/189).
Karena
itulah, beberapa pakar tetap menganjurkan untuk berwudhu, tanpa diniatkan
sebagai sunah. Terapi ini dilakukan hanya dalam rangka meredam panasnya emosi
dan marah. Dr. Muhammad Najati mengatakan,
يشير
هذا الحديث إلى حقيقة طبية معروفة ، فالماء البارد يهدئ من فورة الدم الناشئة عن
الانفعال ، كما يساعد على تخفيف حالة التوتر العضلي والعصبي ، ولذلك كان الاستحمام
يستخدم في الماضي في العلاج النفسي
Hadis
ini mengisyaratkan rahasia dalam ilmu kedokteran. Air yang dingin, bisa
menurunkan darah bergejolak yang muncul ketika emosi. Sebagaimana ini bisa
digunakan untuk menurunkan tensi darah tinggi. Karena itulah, di masa silam,
terapi mandi digunakan untuk terapi psikologi.
(Hadis
Nabawi wa Ilmu An-Nafs, hlm. 122. dinukil dari Fatwa islam, no. 133861)
اَللَّهُمَّ
نَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الحَقِّ فِي الرِضَا وَالغَضَبِ
Ya Allah, kami memohon kepada-Mu kalimat haq
ketika ridha (sedang) dan marah
[Doa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalatnya – shahih Jami’
As-Shaghir no. 3039]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar